Tinjauan: Hadits shahih yang terlupakan

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Pada kesempatan kali ini, kita akan mencoba melihat secara proporsional dalil-dalil lain yang digunakan oleh sang penggagas pacaran islami dalam usaha pembenaran atas ide yang beliau usung. Dan sejauh mana beliau jujur dalam membawa dan memberikan penjelasan atas hadits-hadits yang digunakan. Disamping itu sebagai pembuktian siapa yang aneh, karena menurut sang penggagas, beliau merasa aneh dengan para aktifis dakwah dan muballigh yang ‘menyimpan’ hadits-hadits berikut atau bahasa beliau ‘hampir tak pernah diungkap’ dalam ceramah-ceramah mereka. Padahal adakah manfaatnya ‘menyimpan’ hadits-hadits tersebut, ataukah lebih dikarenakan karena penjelasan para muballigh itu tidak memuaskan ide sang penggagas pacaran islami, wallahu’alam.

Tanpa perlu berpanjang-panjang kata, kita akan masuk dengan hadits pertama, redaksi yang ada pada penggagas pacaran islami berbunyi : Dari Anas r.a. dikatakan bahwa Ummu Sulaim menggelar tikar [dari kulit] untuk Nabi saw., kemudian beliau tidur [siang] di atasnya. Anas berkata: “Ketika Nabi saw. tidur, Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau, lalu mengumpulkannya dalam suatu bejana, kemudian menghimpunkannya ke dalam wewangian ….” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw. menemui Ummu Haram binti Milhan. Lantas dia menjamu makan Rasulullah saw.. Ketika itu, Ummu Haram merupakan istri Ubadah bin Shamit. Rasulullah saw. berkunjung ke rumah wanita tersebut. Lantas wanita tersebut menjamu makan Rasulullah saw. dan menyisir rambut beliau. …. (HR Bukhari dan Muslim)

dilanjutkan dengan penjelasan sang penggagas yakni “Wow! Akrab bangeeet. Sampe ada sentuhan antara tangan dan kepala. Kayak ama sodara kandung aja. Eh, jangan2, Ummu Sulaim dan Ummu Haram itu muhrim Rasulullah. Benarkah? Ayo kita periksa. Ad-Dimyati menyatakan dengan tegas: “Perempuan-perempuan yang pernah menyusui Nabi saw. sudah diketahui semua,” sedangkan nama Ummu Haram dan Ummu Sulaim tidak terdapat di dalamnya. (Fathul Bari, jilid 13, hlm. 321). Dengan bukti tersebut, yakinlah kita, hubungan akrab dengan lawan-jenis itu sunnah Nabi. Namun, sebagian di antara kita mungkin belum mantap bila hendak meniru kedekatan fisik kayak yang tergambar pada dua hadits di atas. “Tidakkah itu merupakan pengkhususan bagi Nabi karena beliau terpelihara dari kesalahan (ma’shum) dan takkan hanyut oleh gejolak nafsu syahwat?”) dst

Jawaban : Pertama, mari kita bandingkan redaksi hadits pertama diatas dengan redaksi hadits berikut ..‏ ‏

‏ ‏حدثنا ‏ ‏أبو بكر بن أبي شيبة ‏ ‏حدثنا ‏ ‏عفان بن مسلم ‏ ‏حدثنا ‏ ‏وهيب ‏ ‏حدثنا ‏ ‏أيوب ‏ ‏عن ‏ ‏أبي قلابة ‏ ‏عن ‏ ‏أنس ‏ ‏عن ‏ ‏أم سليم ‏ ‏أن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏كان يأتيها ‏ ‏فيقيل ‏ ‏عندها فتبسط له ‏ ‏نطعا ‏ ‏فيقيل ‏ ‏عليه وكان كثير العرق فكانت تجمع عرقه فتجعله في الطيب والقوارير فقال النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يا ‏ ‏أم سليم ‏ ‏ما هذا قالت عرقك ‏ ‏أدوف ‏ ‏به طيبي

“Hadis Anas r.a: Sesungguhnya Nabi s.a.w pernah datang ke rumah Ummu Sulaim dan ingin beristirahat yaitu tidur siang di rumahnya. Ummu Sulaim lalu meletakkan hamparan dari kulit sebagai alas tidur Nabi. Manakala di saat tidur itulah baginda mengeluarkan banyak keringat. Ummu Sulaim lalu mengumpulkan keringat tersebut kemudian mencampurnya dengan minyak wangi dan memasukkannya ke dalam botol-botol kecil. Kemudian Nabi s.a.w bertanya kepada Ummu Sulaim: Apa ini? Beliau menjawab: Keringat kamu. Aku mencampurnya dengan minyak wangiku.(HR muslim no 4302, sumber kutipan arti dapat dicek disini dengan sedikit perubahan redaksi ke bahasa indonesia)

Pada hadits kutipan sang penggagas pacaran islami, dikatakan bahwa “mengambil keringat dan rambut beliau”, entah terjemahan dari mana kata-kata tersebut tetapi setidaknya kalimat seperti itu akan mengarahkan asumsi kita bahwa ummu sulaim demi mengambil keringat rasulullah SAW harus dengan memegang rambut rasulullah SAW. Padahal redaksi asli dan terjemahan dari hadits tersebut tidak satupun yang mengarahkan asumsi kita bahwa ummu sulaim memegang rambut rasulullah SAW. Penjelasan terhadap hadits ini dapat kita baca di kisah islam, dimana dikatakan “suatu ketika Rasulullah tidur siang di rumah Ummu Sulaim. Karena Ummu Sulaim adalah wanita yang bersahaja, maka ia hanya punya tikar kulit sebagai alas tidur Rasulullah. Karena hawa yang panas, Rasulullah berkeringat hingga membasahi tikar itu, lalu beliau bangun. Melihat tikar yang penuh keringat tadi, segera Ummu Sulaim mengambil sebuah botol lalu dengan susah payah ia memeras tikarnya dan menampung keringat nabawi itu dalam botolnya. Melihat ulahnya, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam bertanya keheranan, “Apa yang sedang engkau lakukan?” “Aku sedang mengambil berkah yang keluar dari tubuhmu,” jawab Ummu Sulaim. Diriwayatkan bahwa Ummu Sulaim kemudian mencampurkan keringat Nabi tersebut dalam wewangiannya.”

Jadi fakta bahwa Ummu Sulaim ‘mengambil keringat dan rambut beliau’ itu tidak terbukti, faktanya adalah Ummu Sulaim demi mendapatkan keringat rasulullah SAW harus memeras tikar yang digunakan oleh rasulullah SAW mengambilnya dari rambut rasulullah SAW, dan ini menunjukkan pada hadits pertama terjadi 2 keadaan, satu..Adakah hadits kutipan diatas diambil dengan lafadz bukhari ataukah muslim ?? atau kedua, jikalau memang ternyata kutipan sang penggagas pacaran islami adalah dengan lafadz Bukhari dan yang saya kutip adalah dengan lafadz Muslim, maka lafadz Muslim lebih menerangkan kondisi sebenarnya dibandingkan dengan lafadz Bukhari. Dan prinsip inilah yang digunakan oleh Ustadz Abu Syuqqah ketika ingin menjelaskan pendapatnya terhadap nash itu. Hal ini dapat kita baca pada Metode Penulisan Buku KW. Tentu dengan harapan agar apa yang dimaksudkan oleh Ustadz Abu Syuqqah terhadap nash itu dapat dipahami, bukan malah menyelisihnya. Padahal sudah seharusnyalah kita berhati-hati dalam mengutip hadits untuk membenarkan pendapat kita karena jika kita berlaku tidak jujur maka banyak orang yang tersesat, dan konsekuensinya tentu adzab yang pedih dari Allah SWT. Sebagaimana sabda rasulullah SAW “Dari Abdul Aziz, Anas berkata:”Sesungguhnya ada hal yang menghalang-halangi aku untuk memberitahukan hadits kepada kamu sekalian, yaitu karena nabi saw. Bersabda:”Barangsiapa yang berdusta atasku maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.”(HR: Bukhari), na’udzubillah.

Pada hadits kedua, alhamdulillah sesuai dengan terjemahan yang ada, mungkin ini juga dikarenakan ada kalimat yang diduga sang penggagas “cocok” seperti yang diharapkan yakni kalimat “menyisir rambut”. Tidak diragukan lagi dari hadits-hadits shahih yang ada bahwa Ummu Sulaim dan Ummu Haram adalah dua orang wanita yang “akrab” dengan rasulullah SAW. Okay, sebelum kita lihat bersama, kita tambahkan lagi dua hadits senada dengan maksud sang penggagas pacaran islami berbunyi “Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw. Lalu beliau berduaan dengannya dan bersabda, “Demi Allah! Sungguh kalian [orang-orang Anshar] adalah orang-orang yang paling aku cintai.” (HR Bukhari dan Muslim) dan hadits “dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Seorang perempuan sahaya [nonmuhrim] dari sahaya-sahaya warga Madinah menggandeng tangan Rasulullah saw. dan pergi bersama beliau ke tempat mana saja yang ia [perempuan itu] kehendaki.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah).

Dari hadits-hadits diatas sang penggagas ingin menggiring opini kearah berikut, bahwa rasulullah SAW kemungkinan pernah ‘berkhalwat’ dengan ummu haram, pernah berduaan dengan perempuan anshar, dan pernah berpegangan tangan budak wanita madinah, dan lain-lain dimana seluruh asumsi itu digunakan sang penggagas agar ide pacaran islaminya itu mendapatkan pembenaran sunnah. Seolah-olah anda(baca: yang setuju dengan ide sang penggagas) ingin mengatakan..”tuh rasulullah SAW aja berkhalwat masa kita ga boleh” atau “tuh ada haditsnya kok rasulullah SAW pegangan dengan wanita non muhrim, masa kita ga boleh nyontohin” atau “tuh rasulullah SAW aja boleh pergi berduaan kemana aja sama wanita non muhrim, masa kita kaga boleh” dan masih banyak “tuh..” lainnya, na’udzubillah, berani sekali kita menuduh rasulullah SAW berkhalwat layaknya khalwat-khalwat anda yang sedang berpacaran. Walaupun sang penggagas kemudian akan mengatakan “kalimat mana saya mengatakan hal itu??”, setidaknya kita tidak terlalu bodoh untuk memahami esensi dari setiap kalimat dan asumsi yang ingin digiring oleh sang penggagas pacaran islami. Menariknya nurani para “Pacarers”(maksa banget yak..:D) itu insyaAllah masih jujur dan tidak akan pernah berbohong, bahwa ada perasaan yang ‘mengganjal’ ketika mereka melakukan aktifitas pacaran itu, itulah fitrah Allah SWT yang tidak akan hilang dari diri setiap manusia, hanya saja terkadang ‘sense’ of nurani (aduh..lagi2 saya maksa) itu melemah, seiring jauhnya kita dengan Allah SWT, tetapi ketika hubungan kita dengan Allah SWT semakin dekat dan kuat, sense of nurani itu akan semakin kuat, mau tahu?? coba deh tanya orang-orang sholeh disekitar kita, insyaAllah mereka tidak akan pernah setuju dengan yang namanya berpacaran.

Kembali ke to..pik, Rasulullah SAW dalam sabdanya ““Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.” (HR.Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, dan Hakim menshahihkannya), dihadits yang lain rasulullah SAW bersabda ““Janganlah salah seorang diantara kalian (laki-laki) bersepi-sepi (berkhalwat) dengan wanita malainkan harus disertai mahramnya.” (Mutafaqqun’alaihi). Kedua hadits ini sepintas terlihat bertentangan dengan 2 hadits yang pertama yakni ‘berkhalwatnya’ rasulullah SAW dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim. Tugas para ahli hadits dan ahli fiqh untuk kemudian mempertemukan ke empat dalil yang terlihatnya bertentangan. Penjelasan yang paling mendekati kebenaran insyaAllah adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini, “Dengan memperhatikan berbagai nash dalam masalah ini, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Sholalalahu ‘alaihi wasalam merupakan mahram bagi setiap wanita muslimah.” Demikian pula yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwa hal ini termasuk salah satu kekhususan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam. (Fathul Bari, Kitab al-Isti’dzaan, bab Man Zaara Qauman fa-Qaala ‘Indahum, syarah hadits no 5810). Kenapa demikian?? karena meskipun rasulullah SAW adalah manusia seperti kita, tetapi beliau mendapat jaminan dari Allah, pribadinya pun ma’shum terbebas dari kesalahan, akankah pribadi mulia seperti itu dapat kita setarakan dengan diri kita yang senang dengan kemaksiatan dan tidak ma’shum. Kekhususan rasulullah SAW sebagai muhrimnya wanita muslimah juga ditunjukkan oleh banyak hadits diantaranya berpegang tangannya rasulullah SAW dengan seorang budak wanita madinah diatas dan lain-lain, dan tidak ada satupun hadits (ada hadits tentang Abu Musa yang dikira sang penggagas sebagai dalil para sahabatpun berkhalwat, na’udzubillah, akan kita bahas setelah ini) yang menceritakan para shahabat pernah berasyik-masyuk berkhalwat dengan wanita non muhrim, kecuali hadits2 yang menunjukkan betapa melihat wanita saja dipalingkan rasulullah SAW, larangan berduaan dengan wanita bahkan dengan saudara ipar, dan lain-lain, artinya melihat saja terlarang apalagi bisa berasyik masyuk dalam khalwat. Dan kekhususan rasulullah SAW sebagai muhrimnya wanita muslimah, diperkuat dengan ungkapan Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu’anha “Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menahan syahwatnya.”((Fathul Bari 9/414). Betul, seharusnyalah menjadi pertanyaan pertama ketika muncul pikiran-pikiran aneh tentang bolehnya berasyik masyuk dalam khalwat dengan sang pacar, memandang wajah sang pacar berulang kali, berjalan berduaan dengan sang pacar dan lain-lain apalagi atas nama sunnah, pertanyaan siapa kita dan siapa rasulullah SAW??.

Berikut ini hadits yang digunakan sang penggagas yang mengira adanya sahabat yang pernah berkhalwat dengan wanita non muhrim. Sang penggagas Pacaran islami mengutip Abu Musa [al-Asy’ari] r.a. dia berkata: “Nabi saw. mengutusku kepada suatu kaum di Yaman. … Kemudian aku menemui seorang wanita dari kaumku sendiri [yaitu seorang iparku] untuk meminta bantuannya menyisir rambut kepalaku dan sekaligus membersihkannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Dilanjutkan dengan opini sang penggagas pacaran islami Tuuuh… Rambut kepala Abu Musa pun disisir oleh lawan-jenis non-muhrim sebagaimana Rasulullah. Jadi, dapat kita pahami, keakraban hubungan itu dibolehkan bagi kita juga, tidak khusus bagi Nabi saja. Syaratnya, sebelumnya harus sudah ada suatu keakraban batiniah berupa ‘rasa sekeluarga’ antara kau dan si lawan-jenis. Maksudnya, setelah melalui hubungan persahabatan yang lama, kau dan dia sudah seperti saudara kandung satu sama lain. Abu Syuqqah yakin, rasa sekeluarga ini “dapat meredam dorongan hawa nafsu” (KW2: 321). Dengan begitu, selamatlah kehormatan kita dari ancaman kerusakan lantaran perzinaan.”

Setidaknya menurut Al Ustadz Yusuf Qardhawi yang perlu diketahui mengenai tidak berubahnya pendapat para fuqaha terdahulu dan yang sekarang mengenai perkara pegang-memegang non muhrim adalah “Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi;penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah,menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah, khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.”

Dari kalimat-kalimat diatas jelas sekali bahwa non muhrim yang dibolehkannya kita berjabat tangan adalah mereka yang sudah uzur, mereka yang tidak memiliki keinginan syahwat kepada yang lain, mereka yang belum aqil baligh, dan kepada mereka yang diduga kuat tidak akan menyebabkan terjadinya fitnah baik karena telah tampak tanda-tandanya ataupun karena ketersediaan sarananya, dimana tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa mereka yang berpacaran itu telah membuka pintu2 fitnah, dan menyebabkan adanya sarana kearah fitnah-fitnah zina.

Yang perlu juga kita pahami sebagai seorang muslim/ah yang sesungguhnya atas para sahabat rasulullah SAW adalah, bahwa meski para sahabat radhiallahu’anhum bukanlah makhluk yang ma’shum, tetapi mereka adalah generasi terbaik yang pernah ada dalam perjalanan umat manusia. Mereka meridhoi Allah SWT dan rasulNya sebagai Rabb dan pemimpin mereka, dan Allah SWT beserta rasulNya pun meridhoi mereka. Mereka lah yang karakternya kita kenal dengan istilah “sami’na wa atho’na” atau “kami dengar dan kami taat”. Dan merekalah yang paling paham syariat Allah dan sunnah rasulNya, karena dizaman mereka lah Allah SWT menurunkan firmanNya dan dizaman merekalah rasulullah SAW hadir ditengah-tengah mereka. Dan Abu Musa Al Asy’ari adalah satu dari sekian sahabat rasulullah SAW yang utama. Beliau ra juga adalah seorang sahabat yang tingkat pemahamannya terhadap syariat Allah SWT dan rasulNya tergolong mumpuni. Sehingga tidak mungkin bagi orang-orang yang berilmu menduga bahwa Abu Musa Al Asy’ari telah berduaan layaknya orang yang berpacaran. Karena Allah SWT telah berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina..” dan rasulNya telah bersabda “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama muhrimnya”(HR Muslim). Untuk itu dari hadits Abu Musa diatas dapat ditarik kesimpulan meyakinkan yakni wanita non muhrim yang menyisir rambut Abu Musa ra adalah wanita yang sudah uzur atau sebab2 lain yang menunjukkan adanya kemubahan dalam hal ini(menyisir rambut lawan jenis). Siapapun yang menduga bahwa hadits itu berkaitan dengan bolehnya berduaan dengan lawan jenis a.k.a pacaran, ketahuilah bahwa ia telah mengira tanpa ilmu.

Demikianlah sebagian kesalahan interpretasi sang penggagas pacaran islami dalam memahami dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan, dikarenakan kurangnya pemahaman yang utuh terhadap seluruh dalil yang berbicara mengenai hal itu. Wallahu’alam..Aquluqawlihadza fastaghfiruhu..

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

2 Comments (+add yours?)

  1. dajal007
    Sep 19, 2007 @ 22:23:47

    assalaamu’alaikumwarohmatullohiwabarokaatuh

    boleh nanya ga? sumber data yang dipake dari mana aja? terutama penjelasan terhadap hadits-hadits yang dikutip.

    terus, penjelasan untuk hadits tentang ada seorang sahabat yang rambutnya disisiri oleh saudara wanitanya kok ngambang sih? emang belom nemu penjelasannya ya?? kalo udah dapet kasih tahu saya ya… ke dajal007@gmail.com

    makasih

    Reply

  2. pacaranislamikenapa
    Sep 19, 2007 @ 22:51:50

    Wa’alaykumussalam warahmatullah
    Sebagian sumber penjelasan tentang hadits2 itu sudah ana tulis terutama hadits ummu Sulaim dan Ummu haram dari kisah Islam. Perkataan Ustadz Yusuf Al Qardhawi diambil dari fiqh kontemporer.

    kemudian jika dikatakan penjelasan hadits tentang sahabat yang disisiri itu adalah penjelasan yang ngambang adalah ok-ok saja, cuma tunjukkan kepada kita dipoint mana yang antum lihat ngambang, dan bagaimana seharusnya agar tidak terlihat ngambang?? kita sama-sama belajar dan berbagi pemahaman, tetapi tidakkah antum justru melihat penjelasan yang disimpulkan oleh sang penggagas pacaran islami itu terhadap dalil yang digunakan bukan saja ngambang tetapi mengada-ngada(menjadi dalil bolehnya berpacaran). Sudahkah antum dajal007 menanyakan sumber “penafsiran” seperti itu kepada pak Mushadiq ??

    Wa’alaykumussalam warahmatullah

    Reply

Leave a reply to pacaranislamikenapa Cancel reply