Tinjauan “Begitukah Definisi Pacaran…”

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Ketika membaca judul tulisan SPPI yang berjudul “begitukah definisi pacaran yang benar”, saya berharap bahwa SPPI akan menjelaskan dengan gamblang, 2 ide “besar” yang sangat umum, yang beliau sandarkan pada arti “pacaran” yang tercantum didalam KBBI. Kedua ide itu adalah “bercintaan” dan “kekasih tetap”. Artinya jika ingin dikatakan “halal”, beliau harus menjelaskan dengan gamblang “bercintaan” seperti apakah yang dimaksud?? dan “kekasih tetap” yang seperti apakah yang dimaksud??

Tetapi sekali lagi kita harus “kecewa”, karena tulisan itu tidak hendak menjelaskan maksud dari definisi yang beliau “yakini” itu. Tulisan itu hanya “sekedar” pembelaan dengan beberapa asumsi subjektif SPPI, jauh dari kebenaran ilmiah, bertolak belakang dengan kenyataan dan terlihat sangat terburu-buru.

SPPI beralasan

“Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002: 807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” (PIA: 19) “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut (lihat halaman 542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” (PIA: 20).

Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca dengan sangat jelas sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.”

Sampai disini sebenarnya, kita tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Bahwa KKBI hanya menjelaskan sebagian istilah itu dengan penjelasan yang sangat pendek, umum, dsbnya, itulah KBBI. Usaha untuk merangkumnya menjadi sebuah “definisi” tentu adalah usaha awal yang baik, tetapi tentu tidak dapat dijadikan sebagai sebuah dalil apalagi disejajarkan dengan pendapat para ahli. Karena ada aspek2 lain yang mesti dipahami dahulu dalam kata2 itu, selain hanya ‘menyatukannya’ dalam sebuah kalimat. Jika hal itu tidak kita lakukan, yang terjadi hanyalah asumsi pribadi yang sangat subjektif, bergantung kepada selera seseorang yang membaca dan mengartikannya. Sedangkan para ahli merangkum setiap kata2 itu menjadi jelas dan meyakinkan.

Dan ketika usaha itu hendak ditarik kepada pemahaman bahwa “Pacaran” itu mungkin “halal”, tanpa ada penjelasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “bercintaan” dan “kekasih tetap” tersebut, maka pembahasan pacaran seperti itu sudah memasuki wilayah syubhat, menduga-duga tanpa dasar, atau berkata-kata tanpa ilmu.

Karena apa?? karena jika konsep “pacaran adalah halal” telah ditelan mentah2 dalam benak seseorang, maka berikutnya adalah “mencari2” pembenaran atas aktifitas yang ada didalamnya.

Sekali lagi, KBBI sebagai sarana awal untuk membantu kita memahami sebuah istilah indonesia, tentu adalah suatu usaha yang baik. Tetapi ketika kita ingin berbicara lebih jauh mengenai istilah itu, maka kembalikanlah definisi istilah itu kepada para ahlinya. Sebagaimana yang juga sering digembar-gemborkan oleh SPPI untuk “merujuk kepada ahlinya”. Jika istilah2 itu digunakan untuk mewakili sebuah fenomena alam, maka para ahli ilmu alam lah rujukannnya. Jika istilah2 yang dimaksud adalah untuk mewakili sebuah fenomena sosial/fenomena kejiwaan, maka para ahli sosiologi atau psikologi yang bisa menjawabnya. Dan jika ada kata2 dalam definisi tersebut yang mesti diperjelas, maka wajib untuk dijelaskan. Misalkan pada “bercintaan” yang seperti apakah yang mungkin halal, dan pada “kekasih tetap” yang bagaimanakah yang disebut halal. Karena didalam Islam jelas, perkara “bercintaan” dan “kekasih tetap” yang dihukumi “halal” itu hanya terjadi, jika telah diawali dengan sebuah proses yang disebut dengan “Pernikahan”.

Jadi, kita tidak hendak menyalahkan “arti” yang telah dijelaskan oleh KBBI dalam hal ini, tetapi justru, dengan merujuk kepada ahlinya bertujuan untuk memperkuat maksud, dan memperjelas duduk perkara yang tercantum didalam KBBI. Dan siapapun yang mencari kebenaran, tentu tidak perlu takut terhadap proses(mengembalikan pengertian kepada para ahli) ini, apalagi bagi seorang SPPI yang “katanya” siap dengan kritikan dsbnya.

Kembali ke.. topik, istilah “pacaran” itu sendiri menurut para ahli mungkin dalam pembahasaannya ada sedikit perbedaan. Tetapi tidak dalam konteks dan realita. Karena setidaknya ada tiga hal yang pasti, bahwa pacaran itu ‘mensyaratkan’ adanya “cinta”, “keintiman” dan “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar”. Mungkin pada “kadar” cinta dan keintiman, masing2 orang boleh jadi berbeda, tetapi masalah “pengakuan masing2 lawan jenis itu sebagai pacar” adalah perkara mutlak yang tidak terbantahkan lagi sebagai prasyarat suatu hubungan disebut “pacaran”. Hal ini sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Bahkan jika kita mau jujur, bertanya kepada mereka yang “aktifis” pacaran, sebelum ada kejelasan “status sebagai pacar” maka hubungan yang terjalin antara 2 insan lain jenis itu belum diakui sebagai “Pacaran”. Mungkin ada yang menyebutnya “TTM” atau “HTS” atau “sahabatan”, tetapi tidak “berpacaran”. So, pahamilah istilah2 ini apa adanya.

Terhadap “catatan” yang dibuat oleh SPPI atas definisi yang menjadi rujukan kami, kami pun mencatat beberapa beberapa hal atas “catatan” SPPI tersebut. Terhadap poin :

“1) Gerhana matahari merupakan fenomena alam; pacaran merupakan fenomena sosial. Kedua fenomena ini memiliki sifat yang sangat berbeda, sehingga tidak bisa dianalogikan.”

1. Tidak ada yang hendak menyamakan “gerhana matahari” dan “pacaran”. Bahwa kedua hal ini memiliki kesamaan, itu fakta. Kesamaan itu terletak pada fakta bahwa kedua hal ini mewakili sebuah “fenomena”, hal inilah yang mesti kita pahami terlebih dahulu. Dan untuk mengetahui “fenomena” apa yang terjadi pada “gerhana matahari” atau “pacaran”, maka kita kembalikan kepada definisi yang dibuat oleh para ahli, agar kemudian asumsi2 subjektif bisa kita hindari. Jika fenomena itu adalah fenomena alam maka rujukannya kepada ahli alam (fisikawan, ahli astronomi dsbnya). Dan jika fenomena itu adalah fenomena kejiwaan, atau masyarakat, tentu lebih tepat jika kita merujuknya ke ahli psikologi, atau ahli astronomi, dan seterusnya. Sehingga statement SPPI diatas tidak bisa kita terima.

“2) Berbeda dengan ilmu eksakta, setiap pakar ilmu non-eksakta (psikologi, sosiologi, dsb) memiliki definisi sendiri-sendiri mengenai istilah kunci yang dikemukakan di karya tulis masing-masing. Definisi sang pakar itu berlaku pada karya tulis yang menyebutkan definisi tersebut, tetapi TIDAK berlaku untuk karya tulis lain, apalagi yang ditulis oleh pakar lain.”

2. SPPI hendak mengajak kita kepada sebuah kondisi yang “relative”. Tetapi ketahuilah sebuah istilah ilmiah tentu bisa diuji keilmiahannya. Apakah sesuai dengan kenyataan, gejala2, dan fakta dilapangan(bicara fenomena)?? Jika iya, maka definisi tersebut bisa diterima, jika tidak, maka definisi tersebut tidak boleh kita terima, sederhana kan?. Dalam konteks “pacaran” juga seperti itu, jika anda berasumsi bahwa ada definisi lain dari ahli psikologi(katakanlah) yang berbeda dari yang diungkapkan oleh Reiss, kita lihat dimana perbedaannya, dan kita ukur manakah diantara kedua definisi itu yang mendekati kebenaran(lebih kuat). Jadi, asumsi juga harus menyertakan bukti. Jika tidak bisa menyertakan bukti, asumsi tersebut tidak lebih sebagai dugaan yang lemah, dan tertolak.

“3) Fenomena pacaran yang hendak kita islamisasikan ini berfokus pada Indonesia. Mengapa SPIP ikut-ikutan artikel kompas, merujuk ke buku karya orang Barat? Mengapa tidak merujuk ke definisi baku (standar) yang disusun oleh para pakar dari Indonesia? Apakah SPIP belum tahu bahwa penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) itu tidak hanya melibatkan ahli bahasa, tetapi juga melibatkan para pakar di bidangnya (termasuk sosiologi dan psikologi)?”

3. Yang sedang ngomongin pacaran dibarat siapa ya?? :). Kenapa melarang orang untuk merujuk kepada buku barat hanya karena “pacaran”nya di Indonesia?? Toh SPPI sendiri seringkali merujuk kepada buku barat dalam menulis artikel “pacaran ala beliau” :)?? Jika sesuai dengan kenyataannya kenapa harus kita tolak??

“KOMPAS” adalah koran nasional tentu inilah faktanya. Penulis artikel itu sendiri bernama “TRINZI MULAMAWITRI”, saya yakin ini juga nama orang indonesia asli. Artikel itu juga tidak semata2 merujuk kepada ahli2 barat, ada juga ahli psikologi Indonesia, dan yang dibahas pun adalah fenomena yang terjadi di Indonesia, jadi apanya yang salah?? . Sedikit tentang ‘larangan’ SPPI merujuk kepada buku barat dengan alasan “berfokus pada indonesia”. Ternyata guna mendukung tulisan2nya, SPPI juga merujuk kepada buku barat, wah..”kau yang mulai..kau yang mengakhiri”..SPPI melarang orang lain, tetapi beliau sendiri melakukannya, sikap seperti apakah ini namanya??.

Kami mencatat ada nama2 Deborah Tannen, Duchenne de Boulogne dan Paul Ekman, Allan & Barbara Pease, M. Scott Peck, dan masih banyak lainnya. Dan kontradiksi semacam ini tidak hanya sekali dilakukan oleh SPPI, wallahu’alam.
Mengenai tim penyusun KBBI, ketahuilah bahwa tim tersebut hanya terdiri dari ahli bahasa saja. Jika diperlukan untuk merujuk kepada ahli tertentu, maka dilakukan secara terpisah, semacam konsultan. Adapun kamus yang menghimpun para ahli dibidangnya, seperti ahli fisika, biologi, kedokteran, dsbnya, maka kamus seperti ini diistilahkan “Kamus Istilah”, sebagai rujukan untuk istilah2 ilmiah(http://id.wikipedia.org/wiki/KBBI).

“4) Tingkat “keintiman” pada pacaran antara budaya Barat dan Timur (termasuk Indonesia) berbeda. Batas keakraban hubungan pacaran pada budaya Timur lebih ketat.”

4. Lebih “ketat”?? Seperti apakah yang dimaksud dengan “ketat” disini?? Satu yang pasti, Barat sudah terbiasa dengan fenomena hubungan lawan jenis pranikah semacam pacaran. Apakah barat juga memaklumi “pacaran” itu pada awalnya?? Saya pikir tidak. Karena banyaknya (orang yang dianggap sebagai) pemuka agama pada waktu itu mencari2 pembenaran terhadap hal ini, maka yang terjadi, “pacaran” ada dimana2, beserta masalah sosial lain yang ditimbulkannya. Apakah ada pemuka agama diBarat yang tidak setuju dengan pacaran??, insyaAllah masih banyak, terutama dari kalangan Islam. Jangan juga diartikan bahwa “tidak setuju” disini adalah pasti dengan cara2 yang keras dan jauh dari sikap lemah lembut. Tetapi cara2 yang lemah lembut itu jangan sampai jatuh kepada perbuatan mencari2 pembenaran demi pembenaran.

Bagi mereka yang dengan izin Allah SWT hidup lebih dahulu dibandingkan dengan remaja2 sekarang tentu mengakui bahwa gaya pacaran masa lalu lebih “sopan” dibandingkan dengan gaya masa sekarang. Itu semata2 karena informasi tentang ‘pacaran’ itu belum terlalu banyak, paling2 dicontohkan oleh mereka yang berasal dari kota besar, atau melalui film2 bioskop (contoh film2 yg dibintangi Roy Mar***), selebihnya(bagi yang tinggal dikampung) nilai2 agama masih ‘agak’ mewarnai’. Sedangkan diera informasi seperti ini, tidak sulit menemukan ‘keintiman’ dibarat itu seperti apa. Bahkan film2 dan sinetron2 indonesia pun melakukan copy paste dari produk barat untuk mengkampanyekan ‘keintiman’ yang sama. Sehingga tidak benar jika dikatakan ada yang berbeda dengan “keintiman” ditimur dan dibarat. Justru yang menjadi titik perbedaannya adalah, ketika “keintiman” itu dipahami tidak dengan kerangka syariat, maka hal seperti itulah yang akan menjadi petaka.

“5) Perilaku “saling mengakui pasangan sebagai pacar”, yang oleh SPIP diklaim sebagai yang terpenting, TIDAK mutlak berlaku pada fenomena budaya Timur walau sesuai dengan budaya Barat. Pada budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan.”

5. Apakah SPPI.. sebelum menulis tentang “pacaran ala beliau” itu juga menjelaskan perbedaan antara fenomena budaya Timur dan fenomena budaya Barat?? Tidak pernah. Jika dikatakan ‘Pada budaya Timur, ekspresi cinta lebih bersifat simbolis daripada terang-terangan’, seharusnya dijelaskan kenapa bisa berbeda?? Secara umum, manusianya sama, dari sumber yang sama, hasratnya juga sama, keinginannya juga sama, dsbnya juga sama baik yang dibarat dan ditimur. Timur dan Barat tidak menjadi sebab bahwa “watak” dan “budaya” orang2 Timur itu berbeda dengan orang Barat. Orang Barat banyak yang tidak tahu malu, orang Timur juga banyak. Orang Barat banyak yang terbuka, orang Timur juga banyak. Jadi nilai kebenaran haruslah universal, berlaku di Barat dan di Timur. Pada konteks dunia “Pacaran”, apa yang terjadi di Barat sesungguhnya juga terjadi di Timur.

Apakah kemudian para ulama dibarat membolehkan pacaran?? Tidak. Kemudian jika melihat ke timur, katakanlah Indonesia, SPPI menduga “pacaran” itu tidak mutlak mengakui pasangan sebagai pacar, apakah dugaan ini ada buktinya?? Siapa yang berkata dan dimana kita bisa merujuknya?? Tidak ada buktinya kan. Justru faktanya adalah “Pacaran” itu harus mensyaratkan “kedua insan lain jenis” itu untuk saling mengakui sebagai pacar. Karena ngga mungkin ada yang pacaran, rela..jika pacarnya dipacari oleh orang lain??

Lantas apa yang bisa kita pegang dari kata2 SPPI diatas??

Jadi, catatan SPPI itu sendiri penuh dengan “catatan”. Ketidakmampuan SPPI untuk memberikan bukti yang meyakinkan atas dugaan2nya tersebut, seringkali menjadikan yang bersangkutan memperlebar dan mengaburkan masalah yang sebenarnya. Sesuatu yang seharusnya dapat secara mudah kita pahami, menjadi sesuatu yang “rumit” dan kabur. Mungkin ketika orang sudah bingung dengan apa yang dibicarakan, baru kemudian diganti dengan apa yang hendak SPPI inginkan. Sehingga tidak perlulah terlalu jauh berbicara tentang “islamisasi pacaran”, jika “pacaran” itu sendiri belum dipahami dengan sebagaimana mestinya. Wallahu’alam.

Semoga menjadi pembelajaran bersama.

wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

4 Comments (+add yours?)

  1. Rizaldy
    Jan 29, 2009 @ 21:53:00

    Assalamu’alaikum

    Materinya cukup berat ya. Tapi entah mengapa, aku paham maksudnya. Eumm, kalau KBBI itu kan Kamus Besar Bahasa Ind, tapi SPPI itu apa ya?

    Bingung mode: on

    admin: wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh
    alhamdulillah :)..
    SPIP itu kependekan dari “Sang Penggagas Pacaran Islami”. Biar pengulangannya tidak menghabiskan “space” makanya disingkat menjadi SPPI :).
    wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

    Reply

  2. ahmad nur irsan finazli
    Feb 04, 2009 @ 09:17:35

    Assalamu’alaikum.

    Saya sepakat untuk menikah selagi muda, nikah muda (ISLAMI) kunci sukses hakiki.

    Salam kenal dari saya :
    Ahmad Nur Irsan Finazli

    Reply

    • pacaranislamikenapa
      Feb 04, 2009 @ 19:22:26

      admin:
      wa’alaykumsalam warahmatullah

      sepakat..!! 🙂 .
      salam kenal pak Ahmad.

      Wassalamu’alaykum warahmatullah

      Reply

  3. Okta Via
    Dec 29, 2010 @ 07:13:43

    Okta suka infonya…hebat….dan berbobot….

    Reply

Leave a reply to Okta Via Cancel reply